Selasa, 02 November 2010

PELAKSANAAN TUGAS SATPOL PP DALAM PERSPEKTIF PENYELENGGARAAN FUNGSI KEPOLISIAN DI INDONESIA

Latar Belakang

Menyimak tayangan media massa elektronik dan berita-berita media cetak, sangat sering kita menyaksikan tindakan-tindakan penertiban dan/atau pembersihan yang dilakukan oleh Satpol PP yang dapat dinilai sebagai tindakan kekerasan dan arogansi.Lebih dari itu, tindakan-tindakan tersebut menimbulkan korban yang tidak sedikit baik yang bersifat material maupun non-material, bahkan korban jiwa.

Berbagai dampak dari pelaksanaan tugas Satpol PP yang mendapat perlawanan dari masyarakat membawa POLRI kepada posisi melerai benturan Satpol PP dengan masyarakat dan membawa konsekuensi lebih jauh terjadinya benturan POLRI dan masyarakat yang anarkhis.Kenyataan seperti itu dapat menimbulkan kesan negatif dan kontra produktif, lebih-lebih hal itu terjadi pada era reformasi birokrasi POLRI, membangun kepercayaan masyarakat, membangun kemitraan dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Tragedi PRIOK yang terjadi pada tanggal 14 April 2010 , merupakan kejadian yang paling mutahir dari tindakan-tindakan Satpol PP yang menimbulkan situasi dan kondisi anarkhis yang tak terkendali dan menimbulkan korban 2 orang tewas dan lebih dari 100 orang luka (Rakyat Merdeka, 15 April 2010) serta puluhan mobil dinas dibakar massa.

Sebelum itu dapat dicatat kejadian tindakan kekerasan oleh petugas Satpol PP pada tanggal 12 Mei 2009 antara lain dalam tindakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surabaya yang telah mengakibatkan korban seorang anak pedagang bakso meninggal dunia karena tersiram kuah panas.

Namun demikian kejadian tragis dalam tindakan Satpol PP telah sering terjadi sebagaimana rilis temuan dari Institute For Ecosoc Rights disebutkan antara lain bahwa pada tahun 2006 terjadi penggusuran sebanyak 146 kasus dengan korban 42.498 warga. Tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan korban 45.345 warga.

Berbagai reaksi dari masyarakat terhadap tindakan arogansi Satpol PP muncul dalam bentuk yang paling lunak berupa rekomendasi agar ada peningkatan pendidikan dan latihan Satpol PP secara profesional sampai kepada reaksi yang ekstrim berupa tntutan agar Satpol PP dibubarkan.

Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, mencuat kepermukaan masalah Hubungan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Kepolisian Nasional dengan Pemerintah Daerah dalam rangka Otonomi Daerah..

Dalam Undang-undang Kepolisian No.2 Thun 2002, mengenai Bantuan , Hubungan dan Kerjasama diatur dalam Bab.VII, Pasal 41 dan Pasal 42, sedangkan yang berkait dengan koordinasi operasional, pengawasan dan pembinaan teknis kepolisian.merupakan tugas POLRI yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f.yang berbunyi :

“f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidk pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”.

Seperti diketahui dari rumusan tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 Pasal 148 ayat (1) disebutkan :

“Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteramn masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja”.

Dengan demikian Satpol PP merupakan kepolisian khusus dengan lingkungan kuasa khusus “menegakkan Peraturan Derah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat” Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 dinyatakan bahwa :

”Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”.

Dari ketentuan perundang-undangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tugas Satpol PP, dalam perspektif penyelenggaraan fungsi kepolisian di Indonesia , sesuai ketentuan Undang-undang tidak mungkin dilepaskan dari tugas dan tanggungjawab POLRI , baik mengenai koordinasi, pengawasan opeasional maupun pembinaan teknis kepolisiannya, bahkan POLRI berkepentingan untuk membangun kapasitas dan profesionalisme Satpol PP.agar menjadi pengemban fungsi kepolisian yang profesional.

Dalam Undang-undang disebutkan bahwa pelaksanaan ketentuan untuk berbagai hal tersebut diatas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah(PP) yang ternyata setelah Undang-undang Kepolisian berumur 8 tahun, PP yang dimaksud tidak pernah lahir. Oleh karena itu diperlukan kiat-kiat dilapangan yang dipayungi dengan Keputusan Bersama antara Kapolri dan Menteri Dalam Negeri tentang Standard Operational Procedure (SOP) teknis secara nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip otonomi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan .(Dalam Peraturan Pemerintah RI No 25 Tahun 2000 disebut “Pedoman satuan polisi pamong praja”.)

Keputusan Bersama tersebut, setidak-tidaknya akan menggambarkan realita dilapangan tentang pelaksanaan tugas Satpol PP di daerah dan pentingnya acuan normatif tentang Peranan POLRI (Polda, Polres, Polsek) dalam mendukung Otonomi Daerah serta acuan koordinasi, pengawasan dan pembinaan Satpol PP didaerah otonom.

Pengembangan Hubungan dan Kerjasama

a. Upaya pengembangan hubungan dan kerjasama mempersyaratkan dimilikinya persepsi yang sama terhadap beberapa hal yang esensial antara lain:

1. Tentang adanya kesamaan tujuan dan kepentingan yang tersirat dalam rumusan tugas pokok masing-masing pihak;

2. Kesamaan persepsi tentang peranan masing-masing pihak dalam Sistem Manajemen Nasional dalam rangka sistem pemerintahan negara;

3. Kesamaan persepsi tentang tataran kebijakan dan tataran operasional masing- masing pihak yang bersifat fungsional dalam rangka pengembangan otonomi daerah;

4. Kesamaan persepsi untuk menghilangkan kendala egoisme sektoral

b. Hubungan dan Kerjasama pada tataran kebijakan.

1). Pada tataran kebijakan, hubungan dan kerjasama terutama didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 dan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah No.32 tahun 2004 serta Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang mengatur tentang proses Hukum Acara Pidana .Namun sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur Pelaksanaan hubungan dan kerjasama tersebut belum ada sehingga pelaksanaan koordinasi dan kerjasama antar fungsi dilapangan semata-mata bergantung pada “pola pendekatan subyektif- informal” para pimpinan satuan operasional dilapangan. Pola seperti itu sudah tentu tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang dilayani.

2). Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa :

“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Dari segi kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan dinyatakan dalam Pasal 10 Undang-undang No.32 Tahun 2004 ayat (1) bahwa :

“Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadikewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah dimaksud, dinyatakan dalam Pasal 10 ayat(3) yaitu : a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

3). Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa:

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Makna dari “Kepolisian Nasional “ adalah :

1). Kewenangannya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia;

2). Kesatuan kewilayahan POLRI (Polda, Polres, Polsek) bukan perangkat daerah.

4). Dari hal tersebut pada butir 2) dan 3) diatas dapat disimpulkan bahwa pada tataran kebijakan perlu adanya penyamaan persepsi tentang kewenangan masing-masing terutama dikaitkan dengan istilah “desentralisasi dan dekonsentrasi” dalam UU No.32 Tahun 2004 dengan “desentralisasi fungsional/desentralisasi jabatan” yang dianut POLRI sebagai Kepolisian Nasional.

c. Hubungan dan Kerjasama pada tataran operasional.

Pada tataran operasional, realita dilapangan tiap pengemban fungsi pemerintahan negara (baik Polri maupun Pemda) menghadapi tantangan dan tuntutan ,kewajiban serta tanggungjawab dalam menjamin keamanan dalam negeri yang meliputi terpelihranya keamnan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terelenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Daerah otonom berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari segi penyelenggaraan fungsi kepolisian, Satuan kewilayahan POLRI (Polda,Polres, Polsek) diberikan kewenangan operasional penuh untuk melaksanakan tugas pokoknya, khususnya dalam mendukung otonomi daerah.

Betapapun, pelaksanaan kerjasama operasional didaerah memerlukan acuan normatif dan kebijakan yang akan dijadikan pedoman hubungan dan kerjasama baik dalam bidang operasional maupun dalam pembinaan teknis kepolisian sehingga dapat dihasilkan keluaran antara lain pelaksanaan tugas yang proporsional dan profesional sesuai Asas Penyelenggaraan Pemerintahan .

Dalam Undang-undang Kepolisian No.2 Tahun 2002 , aspek hubungan dan kerjasama didalam negeri diatur dalam Pasal 42 ayat (2) yang berbunyi :

“Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas”

3. Bentuk Hubungan dan Kerja sama

a. Di tingkat Pusat

1). Merumuskan Keputusan Bersama Kapolri dan Mendagri tentang Pedoman

operasional dan Pembinaan Teknis Profesional Kepolisian Satuan Polisi

Pamong Praja dalam rangka pemantapan otonomi daerah.

2). Sosialisasi Keputusan Bersama tersebut pada butir 1) keseluruh

jajaran Polri dan Pemerintah Daerah..

3). Sosialisas keseluruh jajaran POLRI(ditiap POLDA) tentang Peranan PolRI

dalam mendukung Otonomi Daerah yang diikuti oleh Pejabat utama Polda

Pejabat Utama Pemda, Para Kapolres, Para Bupati, Wali Kota. dan instansi

terkait setingkat. (Slide untuk paparan telah disiapkan).

b. Ditingkat Daerah(Propinsi, Polda. Pemkab, Pemkot, Polres)

1). Polda menyiapkan fasilitas SPN untuk program pendidikan dan

pelatihan Satpol PP, menyiapkan perencanaan penyelenggaraan

pendidikan dan latihan, menyusun silabus dan acara

pembelajarannya serta penyiapan instrukturnya.termasuk

anggaran yang diperlukan.

2). Pemda menyusun program dan anggaran dan diproses melalui

RAPBD masing-masing daerah otonom.untuk mendukung

program pendidikan dan latihan Satpol PP yang akan

dilaksanakan di SPN setempat.

3). Para Kasatwil POLRI mengadakan koordinasi berkala dengan

para Kepala Satuan Polisi Pamong Praja setempat dalam rangka

evaluasi pelaksanaan tugas kepolisian .

4 .Kesimpulan.dan Saran

Berbagai reaksi masyarakat terhadap tindakan Satpol PP yang telah menimbulkan dampak kerusuhan dan korban bersumber dari beberapa substansi masalah yang perlu ditangani yaitu :

1. Tingkat profesionalitas Satpol PP yang tidak memadai;

2. Ketiadaan koordinasi dan pengawasan yang cukup oleh Polri;

3. Belum terpolakannya pembinaan teknis kepolisian;

4. Belum adanya instrumen peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Kepolisian dan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah;

5. Belum tersosialisasikannya Undang-Undang Kepolisian No.2 Tahun 2002, dan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Untuk menjaga momentum peranan POLRI dalam mendukung otonomi daerah, khususnya dalam Koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis kepolisian terhadap Satpol PP, disarankan agar :.

1. Segera dibentuk Pokja ditingkat Mabes Polri untuk menyusun Draft Keputusan Bersama Kapolri dan Mendagri tentang Pedoman operasional dan Pembinaan Teknis Profesional Kepolisian Satuan Polisi Pamong Praja dalam rangka pemantapan otonomi daerah..

2. Kegiatan Sosialisasi Pemantapan pemahaman UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Peranan Polri dalam mendukung. otonomi daerah) ke Polda-Polda. Dilakukan oleh Staf Ahli Kapolri dan Penasihat Ahli Kapolri yang ditujukan kepada para pejabat utama Polda, Polres, pejabat utama Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota dan instansi terkait setempat.

HUKUM KEPOLISIAN (Cetakan Ke Lima)

Buku Hukum Kepolisian yang diterbitkan tahun 1994 ini merupakan pengembangan dari buku terbitan sebelumnya. Diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) bekerja sama dengan PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Pada saat itu penulis menjabat sebagai Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Politik dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi.

Senin, 01 November 2010

HUKUM KEPOLISIAN (untuk siswa Pamilsuk ABRI)

Cover buku terlampir adalah Cover buku Hukum Kepolisian yang memuat bahan ajaran Hukum Kepolisian untuk siswa Pamilsuk ABRI pada Komando Pendidikan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Tahun 1988.

Penulis pada waktu itu berpangkat Kolonel Polisi dengan jabatan Kapolwil Besuki, merupakan pengajar pada pendidikan tersebut.

HUKUM KEPOLISIAN (Cetakan Ketiga)

Buku Hukum Kepolisian Cetakan ketiga merupakan penyempurnaan dari Buku Hukum Kepolisian cetakan sebelumnya. Diterbitkan pada tahun 1981 sehubungan dengan lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menggantikan HIR yang membawa pengaruh terhadap pemolisian, khususnya pada tataran represif yustisial . Penulis pada waktu itu berpangkat Letnan Kolonel Polisi dan menjabat Komandan Resort Kepolisian Kota Manado.

HUKUM KEPOLISIAN (Cetakan Pertama)

BUKU HUKUM KEPOLISIAN

Diterbitkan tahun 1972 merupakan skripsi penulis yang dibukukan oleh Perguran Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

"Hukum Kepolisian adalah hukum yang mengatur tentang segala hal ikhwal kepolisian mencakup tugas, organisasi, status, wewenang, tanggung jawab kepolisian serta mengatur hak-hak masyarakat dalam berpartisipasi dibidang tugas kepolisian".

Buku ini dikembangkan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan fungsi kepolisian dalam ketatanegaraan dan pemerintah. Setiap negara memiliki jatidiri kepolisian sendiri yang khas dan berbeda dengan kepolisian negara lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi landasan ideal filosofi / falsafah bangsa dan negara, konstitusi, tujuan negara serta konvensi yang dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan negara termasuk di dalamnya perkembangan aspirasi masyarakat terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.

Pemolisian adalah fungsi masyarakat, artinya bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Pengaruh ketatanegaraan dan pemerintahan berpengaruh terhadap penyelenggaraan fungsi kepolisian.

Hukum kepolisian di Inggris (yang menganut common law) diartikan sebagai kumpulan Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas polisi. C.CH Morierty : "Police law is an arrangement of law and regulation for the use of police officer".

Di Jerman (eropa kontinental) Polizei Recht merupakan peraturan yang dikhususkan pada tugas dan kewenangan kepolisian, baik kewenangan umum maupun kewenangan khusus. Buku Hukum Kepolisian Jerman yang terkenal berjudul "Allgemeines Polizei Recht" karya dari Bill Drews dan Prof. Gerhard Wacke .